Membaca Guru dan Akses Pendidikan
Oleh Jejen Musfah, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Wakil Sekjen PB PGRI

 

Membaca buku Evaluasi Pembangunan Pendidikan Agama dan Keagamaan di Indonesia (2021) ini sekilas terdapat kontradiksi. Dikatakan kualitas guru baik tetapi kualitas pembelajaran dan pengajaran belum terlaksana (mungkin maksudnya belum memuaskan atau tidak efektif).

Seharusnya jika guru baik maka pembelajaran dan pengajaran akan baik, menyenangkan, dan efektif. Kekurangan fasilitas belajar berpengaruh tetapi komitmen dan dedikasi guru jauh lebih berpengaruh dan penting.

Maka bisa jadi kontradiksi di atas terjadi karena guru-guru berkualitas tetapi kinerjanya rendah; guru kurang komitmen dan dedikasi terhadap tugas dan fungsinya. Atau bisa jadi hasil yang menunjukkan kualitas guru baik perlu ditinjau ulang—untuk tidak mengatakan diragukan validitasnya.

Yang menarik, justeru di rekomendasi muncul pelatihan terhadap guru. Artinya guru dianggap masih rendah kualitasnya. Seolah-olah rekomendasi ini menolak simpulan atau temuan riset yang menyatakan kualitas guru sudah baik.

Di sisi lain, aneka pelatihan seperti tidak berdampak positif bagi guru. Sederhana, berapa banyak dana pelatihan di Kemenag setiap tahun, dan berapa besar dampaknya bagi peningkatan kinerja dan inovasi guru dan kepala madrasah? Bisa jadi tidak ada data untuk menjawabnya.

Daripada menghabiskan dana untuk pelatihan, akan lebih bermanfaat dana itu digunakan untuk mensejahterakan guru-guru honorer di madrasah negeri dan swasta. Moratorium pelatihan, tingkatkan kesejahteraan guru non-ASN. Ini bukan sloganistik, tetapi fakta yang memilukan: guru digaji di bawah satu juta rupiah!

Bagaimana para pejabat kementerian bicara soal mutu pendidikan keagamaan sementara mereka membiarkan profesi guru tidak dimuliakan dan dihargai oleh semua pihak. Mulai dari pemerintah, Pemda, hingga masyarakat.

Mereka memakai baju batik mahal, berkegiatan dari satu hotel ke hotel lainnya, dan naik pesawat dari satu provinsi ke provinsi lain tetapi ogah membicarakan dan memperjuangkan standar minimal gaji guru honorer. Aneka pelatihan itu tidak ada artinya jika banyak guru hidup di bawah garis kemiskinan.

Mereka akan mengajar dari satu madrasah ke madrasah yang lain; kerja sambilan di luar mengajar seperti mengamen dan jualan permen jahe di terminal dan bus; naik sepeda motor, hujan kehujanan, panas kepanasan. Coba bayangkan jika para pejabat dan pegawai kementerian berada di posisi guru-guru honorer itu. Apakah sanggup bertahan mengajar belasan hingga puluhan tahun?

Di samping kesejahteraan, soalan guru adalah pemerataan dan kekurangan guru. Keduanya terjadi karena para pemimpin di kementerian nihil pemahaman data guru dan nihil kemauan tentang pemuliaan profesi guru. Mereka semua minus penghargaan dan pembelaan terhadap profesi guru.

Data guru madrasah dalam SIMPATIKA tidak dimanfaatkan untuk pemerataan guru. Kekurangan guru tidak diikuti rekrutmen guru ASN tetapi dibebankan kepada guru honorer yang tidak diperhatikan kesejahteraannya. Mereka dipekerjakan tetapi tidak dimuliakan dan diperhatikan—apalagi diperjuangkan.

Saya yakin uang pemerintah ada tetapi tidak ada kemauan untuk mensejahterakan guru sesuai amanah konstitusi dan UU Guru dan Dosen. Mengapa Pemda mampu menetapkan Upah Minimum Regional (UMR) tetapi tidak pernah membicarakan Upah Minimum Guru (UMG), minimal setara UMR.

Mengapa Negara punya uang untuk tunjangan pejabat, anggota DPR, kepala daerah, membangun infrastruktur jalan, menutupi kerugian BUMN, tetapi tidak ada uang untuk membayar gaji guru yang layak? Gaji dan tunjangan guru yang layak itu amanah UU bukan permintaan guru honorer!

DPR dan pemerintah sendiri yang menyusun dan mengesahkan UUGD tetapi mereka tidak mau melaksanakannya. Sudah ada politik hukum tetapi tidak ada politik pelaksanaan hukum. Inilah sesungguhnya penyakit atau dosa—meminjam istilah Mas Menteri—pemerintah kepada para guru honorer.

Selain masalah guru, ditemukan juga akses pendidikan keagamaan rendah. Ini serius karena setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan yang baik, minimal sampai pendidikan menengah atau Aliyah.

Jadi sampai saat ini pemerintah atau Kemenag tidak punya sistem yang efektif untuk mencegah putus madrasah atau sistem rekrutmen siswa yang putus madrasah. Negara lebih terkesan membiarkan anak-anak bangsa tanpa pendidikan daripada berupaya sungguh memperjuangkan pendidikan mereka.

Kartu Program Indonesia Pintar (PIP), Kartu Indonesia Pintar (KIP), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan kartu-kartu lainnya tidak cukup menghilangkan tanggung jawab pemerintah atas hak pendidikan anak-anak. Diperlukan satu sistem dan satuan tugas khusus yang memastikan Indonesia zero putus madrasah.

Misal, kerja satgas ini mengambil anak-anak usia sekolah di lampu merah dan jalan pada setiap jam sekolah atau jam-jam tertentu. Jadi bukan hanya PKL yang ditertibkan oleh Satpol PP tetapi anak-anak usia sekolah juga perlu ditertibkan untuk dimadrasahkan.

Demikianlah, soalan guru dan anak-anak putus madrasah ini bisa diatasi hanya dengan pemimpin yang menggunakan hati nuraninya dalam menetapkan kebijakan. Jika pemimpin ada kemauan baik maka masalah keguruan dan putus madrasah akan bisa diatasi. Pemimpin yang proguru dan anak-anak miskin, bukan mereka yang mementingkan diri, atasan, dan kelompoknya.

Selama pemimpin hanya mementingkan dirinya sendiri maka kedua soalan di atas hanya akan menjadi repetisi pekerjaan rumah di akhir tahun. Tahun berganti tahun tetapi guru honorer dan anak-anak miskin tetap miskin, sementara mereka bertambah terus tanah dan tabungannya.